Saturday, December 2, 2017

Love is about how to be grateful....?

Hello again. Akhirnya setelah berpikir cukup panjang, gue memutuskan untuk ngeblog kembali. Mau ngomongin soal apa yang biasanya ku hindari untuk dibicarakan. Tentang cinta. Spesifikasi, pandangan tentang pernikahan.

Disclaimer dulu, ini 100% pure hanyalah pandangan gue yang belum pernah mengecap mahligai pernikahan sama sekali ya. Karena recently banyak yang nanya tiba - tiba, jadi gue kepikiran gitu.
Maap maap aja kalo ternyata kekhawatiran gue ternyata tidak terjadi pada kalian yang berumah tangga. Ya justru bagus dong harusnya, ya ga sih?

So, first, let me ask you guys, how's your marriage life?

Because i don't see any happiness, selain postingan fake a smile dari orang orang yang telah menikah di feeds instagramnya.

At first, marriage life is my finish line. Gue ga tau lagi setelah nikah gue akan ngapain. Gue akan menikmati masa masa menjadi istri yang ngikutin petunjuk dari suaminya untuk melangkah ke arah mana. Gue akan jadi support system buat dia, menyediakan segala keperluan dia untuk dia berjuang demi dia sendiri, gue, dan keluarganya. Gue makmum, lo imam. As simple as that. We'll be perfect partner.

Lalu pemikiran itu semua sirna, karena ternyata, ga semuanya suami yang keluar rumah, pergi untuk memperjuangkan keluarganya. Ada yang pergi hanya untuk memperjuangkan hasrat lelakinya sendiri. Ada yang memang keluar rumah hanya untuk mencari hiburan, seakan rumah, yang di dalamnya ada keluarganya, adalah tempat yang paling membebani dan membosankan.

Terus istrinya, yang ga tau apa - apa, masih sibuk mensyukuri kelakuan suaminya yang ga seberapa itu. Masih berusaha maksimal jadi support system terbaik buat pasangan yang (ternyata) ga baik - baik amat. Atau, si istri tau, tapi got nothing to do karena dia udah menggantungkan hidup pada si pasangan. It doesn't sounds better.

Tapi disini gue ga akan menyalahkan lelaki aja kok. Gue bisa nulis begini karena gue melihat dan mendengar ini semua. Menyaksikan kepercayaan gue terhadap pernikahan hancur lebur di otak gue. Sampai akhirnya, gue mikir, mungkin kalo nikah bukan ibadah, orang - orang pasti banyak yang memutuskan untuk ga nikah aja.

Dari versi wanita pun, juga bisa ngelakuin hal - hal yang lelaki lakukan. Bahkan lebih berani lagi, karena sekarang ga perlu takut. Kalo ada apa - apa, kan ada suaminya. Jadi "nakal"nya ga bakal keliatan, selama ga ketauan sama suaminya, atau sekalipun suaminya tau tapi do nothing, ya cus aja.

Astagfirullah... gue udah ga tau lagi pemikiran macam apa dari pelaku pelaku ini. I know them, dan yang paling gue sesali, mereka suka menggunakan agama sebagai tameng. Buat mereka bersembunyi. Mereka menunjukkan kalo mereka tau agama, tapi ga bener bener tau cara aplikasinya.
Karena sekarang, orang asal akrab di medsos, mereka sok sok an ngeposting ayat suci, atau dalil dalil, atau wishlist semoga pernikahannya sakinah mawaddah warohmah aman sentosa sejahtera. Padahal mereka sendiri yang berpotensi menghancurkan impian mereka sendiri.

Gue jadi penasaran, seriusan penasaran, abis ijab kabul, abis janji sama Tuhannya tuh buat saling menjaga satu sama lain, emang ga bisa ya, mereka itu berfikir "okay, my journey to find my partner ends here. I got her/him. Then what shall WE do next?"  Udah gitu. Perjalanan mencari cintanya stop aja sampe disitu. Mulai chapter baru lagi, yang temanya bukan tentang mencari cinta lagi. Karir kah, menjadi pasangan yang baik kah, menjadi imam yang baik kah. jadi anak / menantu yang paling di favoritin mertua kah, atau cara biar keluarganya utuh dan bahagia dunia akhirat, mungkin. Kan masih banyak goal yang harus achieve. Kenapa melulu balik lagi balik lagi demi hasrat cinta-cintaan deh?

Apa pernikahan yang membuat empati mereka jadi setipis itu?

Maksut gue, kalo emang di otak masih ada pertanyaan, "nanti kalo gue bosen sama pasangan gue, gue harus ngapain ya?" atau "kalo pasangan gue ternyata ga seflawless yang gue bayangkan, gue harus ngapain ya?" Ya jangan buru - buru nikah. Nikah kan buat seumur hidup. Mau skripsi aja butuh 4 tahun persiapannya, apalagi soal nikah. I didn't tell you to not getting married. I told you to be prepare, first. Karena menurut gue, selama pertanyaan itu masih muncul, kemungkinan terbesar sih cuma satu. Si pelaku masih ga bisa / tidak terbiasa mensyukuri apa yang mereka miliki. Bahwa ternyata yang mereka miliki sekarang adalah impian dia di masa lalu, atau impian orang lain saat ini.
Buat orang - orang yang cukup mature dalam menghadapi masalah masalah pernikahannya (I wish), be grateful lah. Apa yang kurang, dikomunikasikan. Apa yang salah, dibenahi. Tiap kekurangannya dimaintenance ke pasangannya masing - masing.

Karena sometimes, Tuhan bahkan ga memberikan kita kesempatan lebih untuk belajar berempati ke sekitar kita. Tuhan mendewasakan langsung dengan menguji manusianya. "Jika kamu berbuat baik, maka kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri" - QS 17:7.

Last but not least, i'm here not to judge. Ini hanyalah sekumpulan uneg - uneg gue aja. Ga tau salah atau bener, ya kalo lu tanya gue soal pernikahan, ya emang jawaban gue udah sekeruh dan sebingung ini. Gue juga tau gue pun ga berhak ngomenin hidup orang karena gue juga ga suci suci amat. I got my wrong way too, and i did my U-turn, and I try to learn from that (like normal people do). Jadi, untuk yang sudah nge-drag down pemikiran gue tentang se-awful apa sih pernikahan itu, I wish you'll find the best way to turning back, kalo memang lo udah ngerasa nyasar terlalu jauh. So, good luck :)