Halo. Mari kita cek cek keadaan hari ini dulu. Aku 29 tahun 3 bulan 9 hari. Tahun ketiga menjadi supervisor di kantor yang tidak linear dengan akademisku namun sangat work life balance, ya walaupun kadang dipaksakan. Terhitung hari ini, sudah 18 hari menjadi yatim piatu, setelah 2 tahun lalu, papaku meninggal dengan kesan yang teramat romantis yang membuat kepergiannya terasa semakin memilukan. Mimpinya, anak anaknya berkurban di kampung halamannya, terlaksana. Memberikan uang untuk ku menikah, yang alhamdulillah masih tersimpan rapi di deposito. Tapi di satu sisi lainnya, ternyata pernikahan itu belum terlaksana juga sampai 2 tahun kemudian.
Mama, yang tidak pernah sepenuhnya untukku, “lebih cepat ditunggu pergi daripada ditunggu berubah” katanya, berpulang. Sedih dan rindu. Tapi aku juga sadar bukan hidup yang aku inginkan pula saat dia masih ada. Aku juga urung untuk merindukan seseorang yang sebenarnya tidak pernah ada. Yang berat saat ini hanya karena terlalu banyak urusannya yang kini berubah menjadi urusanku. Sendirian di kartu keluarga tapi resmi jadi pusat kendali keluarga besar yang jauh dari ideal ini. Membayangkannya saja, aku lebih ingin memilih agar aku saja yang pergi. Kabur lebih tepatnya.
Aku kira aku sudah menemukan cara menyelimuti diriku yang berduka dan kesepian, namun jadi terlalu menyakitkan ketika selimutku robek, tak lagi hangat. Tepat sebulan lalu, lelaki yang melamarku 4 tahun lalu, yang berkatnya menjadi penyesalan terbesarku, baru saja menikah dengan wanita pilihannya.
Bersamaan itu juga, seorang lelaki memilih meninggalkanku karena katanya belum selesai dengan dirinya. Tepat semalam, aku menemukan dirinya tidak mengakui kisah kasih kami yang sempat terjalin. Setelah berbagai maklum kutelan, akhirnya sampai di titik aku memilih untuk muntah saja. Aku hanya bisa tertawa renyah menertawakan diriku dan sikapku yang mengacuhkan semua nilai nilaiku. Menormalisasi semua usahaku untuk bertahan di hidup yang tidak menyenangkan ini. Aku lupa merayakan semua pencapaian pencapaianku, yang mungkin belum seberapa, tapi tetap berhak untuk dirayakan. Bukan hanya mengucap “terima kasih karena sudah bertahan sejauh ini” saja. Ini semua lebih dari itu.
Mungkin karena itu, membuatku puas dengan hal hal yang sebenarnya tidak bisa kuterima, tapi keturunanku nanti berhak mendapatkan ayah dan ibu terbaik yang tidak pernah bisa ia pilih.
Jadi..... Ran, mari kita usahakan itu terjadi. Sekali lagi.